Bisnis Syariah, Perkembangan Bisnis Islam Kontemporer, Perbankan Syariah, Sejarah Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia

Bisnis Syariah

Bisnis syariah menjadi primadona di Indonesia. Tata cara bisnis perbankan dan pembiayaan yang mengikuti kaidah islam ini juga diminati non muslim. Bahkan, beberapa bank asing sudah melebarkan sayapnya menekuni bisnis ini. 

Sebut saja HSBC, hingga beberapa nama lain yang ‘antre’ menunggu izin resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk bisa menjalankan bisnis syariah. Pada tahun 2008, unit usaha syariah Bank Rakyat indonesia (BRI) resmi menjadi Bank Umum Syariah (BUS). Layanan perbankan syariah sudah mampu menjangkau masyarakat di 74 kabupaten/kota dan 27 provinsi. Pengembangan kapasitas jangkauan layanan tercermin dari 2,6 juta rekening nasabah dan pembiayaan kepda kelompok UMKM sebesar 38,01 persen. Namun market share dari perbankan syariah masih dua persen terhadap bank konvensional. Miris melihat kenyataan tersebut, mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Hal tersebut disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat dan lain sebagainya.

Perkembangan Bisnis Islam Kontemporer

Perkembangan ekonomi dan bisnis syariah telah diadopsi ke dalam kerangka besar kebijakan ekonomi di indonesia dewasa ini. Adapun kebijakan tersebut dipelopori oleh Bank Indonesia dengan diberlakunya Undang-undang No. 10 tahun 1998 dengan menetapkan perbankan syariah sebagai salah satu pilar penyangga dual-banking system. Selain itu, Departemen keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah mengakui keberadaan lembaga keuangan syariah non-banking seperti asuransi dan pasar modal syariah. Sementara, Departemen agama telah mengeluarkan akreditasi bagi organisasi-organisasi pengelola zakat baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal tersebut memunculkan kedinamisan dalam perkembangan ekonomi dan bisnis syariah di Indonesia yang menunjukan arah positif dan signifikan dalam pembangunan ekonomi pada umumnya. 

Tahun 1990 Majelis Ulama Indonesia memprakarsai terselenggaranya  Lokakarya Ekonomi Syariah. Lokakarya tersebut membuka pandangan kalangan ulama dan cendikiawan muslim bahwa Indonesia yang merupakan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, namun masih tertinggal dalam mengimplementasikan ekonomi syariah. Oleh sebab itu, salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam lokakarya tersebut adalah pendirian bank syariah. Momen penting yang tercatat dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah dari pengalaman selama krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, ternyata fakta menunjukan bahwa perbankan syariah tidak terseret badai krisis dan menjadi salah satu sektor perbankan yang tidak perlu dilakukan rekap oleh pemerintah.  Tanggal 10 februari 1999 MUI membentuk Dewan Syariah Nasional  (DSN). DSN ini dibentuk untuk menjawab kekhawatiran terjadinya perbedaan fatwa yang dikeluarkan oleh DPS di masing-masung LKS. Oleh karena itu, DSN ini membawahi seluruh DPS/LKS di Indonesia.

Fungsi utama dari DSN adalah menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip hukum Islam (syariah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan LKS serta mengawasi implementasinya. Dalam praktek pengawasan inilah dimasing-masing LKS ditempatkan DPS. Dengan dikembangkannya produk-produk ekonomi  syariah, diharapkan bisa mewujudkan pasar modal Indonesia menjadi suatu market yang bisa menarik para investor yang ingin berinvestasi dengan memperhatikan kesesuaian produk dan instrumen yang sejalan dengan kaedah-kaedah syariah Islam. Hal ini tidak hanya terhadap investor lokal akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dengan hal ini diharapkan bisa menjadi daya tarik tersendiri terhadap minat investor dari mancanegara.

Perbankan Syariah 

Sejarah Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia

Perbankan syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1998, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat  Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

Prinsip kerja bank syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.

Serupa Namun Berbeda antara Bank Syariah dan Bank Konvensional

Bank di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu bank syariah dan bank konvensional. Menurut UU RI No.7 Tahun 1992 Bab I pasal 1 ayat 1, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkaan taraf hidup rakyat banyak”. Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem perbankan syariah ini didasari oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak Islami, dan lain sebagainya), dimana hal ini tidak dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Di Indonesia perbankan syariah dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia, dan hingga tahun 2007 sudah terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank, diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Keberadaan BankSyariah di Indonesia telah di atur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. Sementara itu, Bank Konvensional adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional.

Pertama – tama akan kita bahas tentang persamaan dari kedua bank tersebut, yakni ada persamaan dalam hal sisi teknis penerimaan uang, persamaan dalam hal mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk mendapat pembiayaan seperti KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan sebagainya. Dalam hal persamaan ini semua kegiatan yang dijalankan pada Bank Syariah itu sama persis dengan yangdijalankan pada Bank Konvensional, dan nyaris tidak ada bedanya.

Selanjutnya, mengenai perbedaannya, antara lain meliputi aspek akad dan legalitas, struktur organisasi, usaha yang dibiayai dan lingkungan kerja. Yang pertama tentang akad dan legalitas, yang merupakan kunci utama yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional. “innamal a’malu bin niat”, sesungguhnya setiap amalan itu bergantung dari niatnya. Dan dalam hal ini bergantung dari aqadnya. Perbedaannya untuk aqad-aqad yang berlangsung pada bank syariah ini hanya aqad yang halal, seperti bagi hasil, jual beli atau sewa–menyewa. Tidak ada unsur riba’ dalam bank syariah ini, justru menerapkan sistem bagi hasil dari keuntungan jasa atas transaksi riil.

Perbedaan selanjutnya yaitu dalam hal struktur organisasi bank. Dalam bank syariah ada keharusan untuk memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasinya. DPS ini bertugas untuk mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah. DPS biasanya ditempatkan pada posisi setingkat dengan dewan komisaris. DPS ini ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) setiap tahunnya. Semenjak tahun 1997, seiring dengan pesatnya perkembangan bank syariah di Indonesia, dan demi menjaga agar para DPS di setiap bank benar-benar tetap konsisten pada garis-garis syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga otonom untuk lebih fokus pada ekonomi syariah dengan membentuk Dewan Syariah Nasional.

Kemudian perbedaan lainnya adalah pada lingkungan kerja Bank Syariah. Sekali-sekali cobalah kunjungi Bank Syariah, pasti ketika kita memasuki kantor bank tersebut ada nuansa tersendiri. Nuansa yang diciptakan untuk lebih bernuansa islami. Mulai dari cara berpakaian, beretika dan bertingkahlaku dari para karyawannya. Nuansa yang dirasakan memang berbeda, lebih sejuk dan lebih islami.

Perbedaan utama yang paling mencolok antara Bank Syariah dan Bank Konvensional yakni pembagian keuntungan. Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Hal ini karena kontrak yang dilakukan bank sebagai mediator penabung dengan peminjam dilakukan dengan penetapan bunga. Karena nasabah telah mempercayakan dananya, maka bank harus menjamin pengembalian pokok beserta bunganya. Selanjutnya keuntungan bank adalah selisih bunga antara bunga tabungan dengan bunga pinjaman. Jadi para penabung mendapatkan keuntungan dari bunga tanpa keterlibatan langsung dalam usaha. Demikian juga pihak bank tak ikut merasakan untung rugi usaha tersebut.

Hal yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggungjawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.

Dasar Hukum

Bank Syariah secara yuridis normatif dan yuridis empiris diakui keberadaannya negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang No.10 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 

Selain itu, pengaukuan secara yuridis empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di seluruh Ibukota Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank konvensional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah (bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, dan semacamnya).

Prinsip-Prinsip Bank Syariah

Dalam menjalankan aktifitasnya, bank syariah tersebut menganut prinsip-prinsip sebagai berikut : 

1. Prinsip Keadilan

Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah.

2. Prinsip Kesederajatan

Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana maupun bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, resiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpanan dana, nasabah pengguna dana maupun bank.

3. Prinsip Ketetentraman

Produk-Produk bank syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah muamalah Islam, antara tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Artinya nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.

Visi dan Misi Perbankan Syariah

1. Visi Perbankan Syariah

Visi perbankan syariah berbunyi “Terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian yang mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam rangka keadilan, tolong menolong menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat”.

2. Misi Perbankan Syariah

Berdasarkan Visi dimaksud, misi yang menjelaskan peran Bank Indonesia adlaah mewujudkan iklim yang kondusif untuk mengembangkan perbankan syariah yang istiqomah terhadap prinsip-prinsip syariah maupun berperan dalam sektor riil.

Baitul Maal wat Tamwil 

Baitul mal wa tamwil adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkemgangkan bisnis usaha mikro dan  kecil dalam rangka mengangkat martabat dan serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi Baitul Tamwil (Bait = Rumah, At Tamwil = Pengembangan Harta). 

Jadi BMT adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha proktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegitan ekonomi pengusaha bawah dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan. Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). 

BMT membuka kerjasama dengan lembaga pemberi pinjaman dan peminjam bisnis skala kecil dengan berpegang pada prinsip dasar tata ekonomi dalam agama Islam yakni saling rela, percaya dan tanggung jawab, serta terutama sistem bagi hasilnya. BMT terus berkembang. BMT akan terus berproses dan berupaya mencari trobosan baru untuk memajukan perekonomian masyarakat, karena masalah muammalat memang berkembang dari waktu ke waktu. BMT begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk kembali berekonomi sesuai syariah dan berkontribusi menanggulangi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997. Karena prinsip penentuan suka rela yang tak memberatkan, kehadiran BMT menjadi angin segar bagi para nasabahnya. Itu terlihat dari operasinya yang semula hanya terbatas di lingkungannya, kemudian menyebar ke daerah lainnya.
Dari semua ini, jumlah BMT pada tahun 2003 ditaksir 3000-an tersebar di Indonesia, dan tidak menutup kemungkinan pertumbuhan BMT pun akan semakin meningkat seiring bertambahnya kepercayaan masyarakat.

Postingan populer dari blog ini

Pelaku Ekonomi, Sektor Rumah Tangga Konsumen, Sektor Rumah Tangga Produsen

Perekonomian Dua Sektor, Perekonomian Tiga Sektor, Perekonomian Empat Sektor (Perekonomian Terbuka)

Aktivasi Pulsa

Pengertian Distribusi